Menu

Mode Gelap

Bisnis · 5 Oct 2025 01:21 WIB ·

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan :“Kembalikan Militer ke Barak: Akhiri Multifungsi dan Impunitas”


 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan :“Kembalikan Militer ke Barak: Akhiri Multifungsi dan Impunitas” Perbesar

Jakarta,- Bisnispos.Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan genap berusia 80 tahun. Koalisi mengucapkan selamat hari ulang tahun (HUT) TNI yang ke-80. Sejak kelahirannya, TNI telah menjadi salah satu institusi penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Namun, peringatan ulang tahun ke-80 ini semestinya tidak semata dipandang sebagai pesta seremonial, melainkan momentum untuk melakukan refleksi kritis terhadap arah TNI pasca reformasi. Lebih dari dua dekade sejak Reformasi 1998, publik berharap TNI bertransformasi menjadi kekuatan pertahanan yang profesional, tunduk pada supremasi sipil, dan terbebas dari praktik kekerasan terhadap warga sipil. Kenyataannya, harapan itu masih jauh dari kenyataan.

Memperingati HUT TNI, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menegaskan kembali bahwa institusi militer harus ditempatkan sesuai mandat konstitusionalnya, yakni sebagai alat pertahanan negara. Namun, hingga hari ini berbagai praktik multifungsi TNI masih berlangsung dan terus meluas ke ranah sipil. Mulai dari penempatan prajurit aktif TNI di lembaga sipil, keterlibatan dalam urusan keamanan dalam negeri, hingga mengurus sektor-sektor non-pertahanan. Praktik tersebut jelas bertentangan dengan semangat reformasi dan agenda demokratisasi di Indonesia. Multifungsi TNI tidak hanya merusak tata kelola pemerintahan sipil, tetapi juga bersifat destruktif bagi profesionalisme TNI itu sendiri. Selain itu, multifungsi TNI membuka ruang penyalahgunaan kewenangan yang berkaitan langsung dengan tindakan represif terhadap masyarakat.

Koalisi memandang, kasus-kasus kekerasan dan tindak pidana yang melibatkan oknum TNI terus berulang, namun penyelesaiannya masih diproses melalui peradilan militer. Dalam catatan Koalisi sejak Januari 2025 hingga September 2025, berulang kali prajurit TNI terlibat dalam tindak pidana umum yang meresahkan dan mencederai rasa aman masyarakat. Kasus-kasus yang mencuat ke permukaan di antaranya adalah penembakan bos rental mobil di Tangerang (Januari), penyerangan terhadap Polres Tarakan (Februari), penembakan warga sipil di Aceh dan Lampung serta pembunuhan jurnalis perempuan di Banjarbaru (Maret), hingga penculikan dan pembunuhan Kepala Cabang Bank BRI di Jakarta (Agustus).

Ironisnya, kekerasan juga menimpa sesama prajurit TNI, seperti dalam kasus kematian Prada Lucky di NTT akibat penganiayaan oleh seniornya. Pola berulang ini menunjukkan bahwa persoalan kekerasan di tubuh TNI bukan sekadar tindakan individual, melainkan problem struktural dan kultural yang tak kunjung dibenahi. Sistem peradilan militer terbukti menciptakan ruang impunitas. Persidangan yang tertutup, tidak transparan, dan didominasi militer sulit menghadirkan keadilan, apalagi bagi korban sipil.

Dalam praktiknya, peradilan militer menjadi sarang impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Kasus penembakan anak MAF di Serdang Bedagai dengan vonis hanya 2 tahun 6 bulan penjara, adalah bukti nyata bahwa peradilan militer lebih mengutamakan perlindungan terhadap institusi dibandingkan pemenuhan hak korban. Pola serupa juga muncul dalam kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Papua dengan vonis terberat pada pelaku hanya 1 tahun penjara, penyiksaan terhadap Jusni di Sulawesi dengan vonis paling lama 1 tahun 2 bulan penjara, maupun penyerangan terhadap warga Deli Serdang yang pelakunya hanya divonis paling berat 9 bulan penjara. Semuanya berakhir dengan vonis ringan, dan tidak menyentuh rasa keadilan bagi para korban. Lebih dari itu, keadilan untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diproses melalui sistem peradilan militer juga sulit didapat karena sistem peradilan militer yang tertutup dan masih abai terhadap prinsip keadilan gender.

Problem ini semakin diperparah dengan belum direvisinya UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Padahal, TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU TNI telah mengamanatkan bahwa prajurit TNI diadili melalui peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum. Fakta bahwa aturan ini terus diabaikan semakin memperkuat persepsi bahwa anggota TNI kebal hukum. Selama hakim, jaksa, dan terdakwa sama-sama berasal dari institusi militer, impunitas kian menguat dan amat mustahil mengharapkan terwujudnya peradilan yang adil dan setara. Koalisi menilai bahwa praktik ini bukan hanya pelanggaran hukum, melainkan juga pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi. Dengan masih bercokolnya multifungsi TNI dan impunitas militer, demokrasi Indonesia terus berada dalam ancaman.

Koalisi memandang, reformasi peradilan militer sesungguhnya adalah mandat dari UU No. 34 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2025 tentang TNI. Pasal 65 ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Selain itu, upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen. Upaya mengubah peradilan militer adalah langkah konstitusional untuk menerapkan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsisten (Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 28D ayat (1) UUD 1945).

Lebih jauh, di tengah daftar panjang kekerasan, Pemerintah dan TNI justru mengarahkan kebijakan yang kontra-produktif terhadap agenda reformasi. Penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil, seperti pengangkatan Sekretaris Kabinet dan Direktur Utama Bulog, perpanjangan usia pensiun perwira bintang dalam UU TNI yang baru, serta pembentukan 6 Kodam baru, merupakan langkah-langkah yang mengembalikan TNI tidak hanya pada praktik dwifungsi, namun multifungsi peran militer ke dalam ranah sipil. Semua kebijakan ini bukan hanya melanggar hukum yang berlaku, tetapi juga mengancam supremasi sipil dan membahayakan demokrasi.

Koalisi memandang, pembentukan enam Kodam baru, antara lain: Kodam XIX/Tuanku Tambusai, Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol, Kodam XXI/Radin Inten, Kodam XXII/Tambun Bungai, Kodam XXIII/Palaka Wira, dan Kodam XXIV/Mandala Trikora, secara khusus memperlihatkan adanya niat memperkuat Komando Teritorial yang sejatinya merupakan warisan Orde Baru. Padahal, amanat Reformasi 1998 justru menghendaki restrukturisasi dan pengurangan Komando Teritorial karena keberadaannya lebih berfungsi sebagai alat kontrol politik ketimbang pertahanan. Restrukturisasi ini juga telah diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2025 tentang TNI, yang mengamanatkan penggelaran kekuatan TNI tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan. Restrukturisasi Koter bertujuan agar gelar kekuatan TNI (Postur TNI) mendukung peran TNI sebagai alat pertahanan negara. Penambahan Kodam hanya akan memboroskan anggaran, memperlemah akuntabilitas sipil, dan membuka ruang bagi militer untuk kembali masuk dalam kehidupan sosial-politik masyarakat.

Koalisi memandang ancaman terhadap demokrasi dan negara hukum juga datang dari RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS). Hal ini terlihat dari diakomodasinya TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d. Rumusan ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, tidak memiliki tugas dan fungsi sebagai penegak hukum. Keterlibatan militer dalam penyidikan pidana siber menciderai prinsip supremasi sipil dalam negara demokratis.

Perumusan pasal di atas menjadi indikasi semakin menguatnya upaya militerisasi ruang siber, yang langkah-langkah sistematisnya terlihat semenjak revisi UU TNI, dengan penambahan tugas operasi militer selain perang, yang berkaitan dengan penanganan ancaman pertahanan siber. Penambahan tugas ini menjadi problematis dengan ketidakjelasan gradasi ancaman. Kondisi ini memberi ruang bagi militer untuk terlibat dalam semua tingkatan penanganan ancaman keamanan siber, tidak terbatas pada aspek perang siber. Padahal, pertahanan siber (cyber defense) semestinya menekankan tindakan defensif, baik active maupun passive cyber defense, untuk melindungi aset pertahanan negara, bukan mengintervensi ranah sipil.

Koalisi memandang bahwa pada usia ke-80, TNI justru semakin menjauh dari cita-cita reformasi. Kekerasan terhadap warga sipil, perebutan ruang sipil, penyalahgunaan senjata api, dan lemahnya akuntabilitas hukum menempatkan militer makin jauh dari prinsip demokrasi dan negara hukum. Agenda reformasi TNI yang diperjuangkan dengan darah dan air mata terancam berhenti di tengah jalan dan hanya menjadi slogan kosong apabila pemerintah dan DPR tidak segera mengambil langkah nyata.

Berdasarkan paparan di atas, Koalisi mendesak:
1. Penghentian total praktik multifungsi TNI dalam urusan sipil, sesuai amanat reformasi dan prinsip supremasi sipil.
2. Revisi UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer untuk memastikan seluruh prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diproses melalui peradilan umum.
3. Pemerintah dan DPR RI menegaskan kembali agenda reformasi sektor keamanan dalam kebijakan dan praktik, bukan sekadar seremoni.
4. Panglima TNI mengembalikan militer ke tugas utamanya menjaga pertahanan negara, bukan mengurus hal-hal di luar mandat konstitusional.

Tidak akan ada demokrasi tanpa supremasi sipil. Tidak akan ada keadilan tanpa akuntabilitas militer.

Artikel ini telah dibaca 3 kali

badge-check

Redaktur

Baca Lainnya

Evaluasi Peningkatan Tipe, Polresta Bukittinggi Didorong Jadi Model Pelayanan Kepolisian Modern

17 October 2025 - 06:45 WIB

Fadli Zon Terima Lembaga Pemangku Adat Jayakarta dan Budayantara: Dorong Pelestarian Manuskrip Al Fatawi

8 October 2025 - 17:41 WIB

EO Ovalio Management Minta Perlindungan: UMKM Terancam Tergusur dari Blok M Hub

27 September 2025 - 08:57 WIB

Roadshow Konsolidasi Ketum Laskar Merah Putih di Sumatera Utara: H.M Arsyad Cannu Dinobatkan Sebagai Marga Sembiring Depari

24 September 2025 - 04:20 WIB

Kehadiran Ketua Umum Laskar Merah Putih HM Arsyad Cannu di Bandara Medan Disambut Meriah, Ratusan Kader Padati Kawasan

23 September 2025 - 07:40 WIB

Perkuat Soliditas, Pokdarkamtibmas Bhayangkara Subsektor 46 Kebayoran Lama Selatan Gelar Kopdar Pengurus

21 September 2025 - 17:10 WIB

Trending di Bisnis